Senin, Januari 16, 2012

BANYAK IRONI DI DALAM NEGERI

Tahun 2011 yang baru dilewati menjadi saksi nyata bahwa kondisi Tanah Air dan umat Islam masih diselimuti awan gelap. Berbagai tragedi politik dan keagamaan berkesinambungan mendera. Bisakah umat mengambil ibrah dari berbagai kejadian ini lalu menuju Islam sebagai jalan keluar yang terang-benderang?


Ancaman Separatisme

Sepanjang tahun 2011, isu separatisme wilayah Papua Barat terus bergulir. Aksi yang dimotori Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus menuai dukungan dunia internasional. Tercatat ada International Lawyer for West Papua (ILWP) yang melakukan kajian ilmiah terhadap pendudukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Wilayah Papua Barat sejak 1 Mei 1969 di Oxford-Inggris pada tanggal 2 Agustus. Anggota Parlemen Belanda Wim Kortenoeven (dari PVV) juga mendesak pemerintahnya agar mendukung kemerdekaan Papua.

Dugaan keterlibatan AS dalam gerakan separatis di Papua dilontarkan mantan Kepala Bakin A.C. Manulang. Ia menyebut AS mendukung dan membiayai kegiatan separatisme, termasuk Kongres Rakyat Papua III pada tanggal 17 Oktober 2011 yang berakhir rusuh. Tujuannya agar Indonesia terpojok lalu terpaksa melakukan jejak pendapat (referendum) bagi rakyat Papua. “AS sengaja membuat rusuh Papua dan Indonesia mendapat kecaman dunia internasional,” tutur AC Manullang (Itoday.com, 20/10/2011).

Kongres Rakyat Papua III yang digelar 17 Oktober silam seolah menjadi puncak bagi kaum separatis-teroris tersebut. Pada acara itu mereka mendeklarasikan kemerdekaan Papua dari NKRI sekaligus mengumumkan susunan pemerintahan transisi secara lengkap.

Niat separatis yang besar itu dipertegas pada aksi demonstrasi ke Gedung DPRD I Papua, yang dilakukan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Dewan Rakyat Papua. Turut hadir tokoh masyarakat dan gereja Papua Barat, ML Wanma. Ia menyampaikan petisi yang antara lain mempertegas pernyataan kemerdekaan Papua sejak Kongres Rakyat Papua III di Jayapura. Bahkan ia menyatakan Papua telah punya pemerintahan transisi. “Karena kami sudah merdeka maka kami menolak semua jenis tawaran pemerintah Jakarta,” (Bbc.co.uk, 17/11/2011).

Kaum separatis juga melakukan aksi teror terhadap warga sipil dan aparat, termasuk menembak mati Kapolsek Mulia Dominggus Oktavianus Awes. Ironinya, aparat keamanan dan Pemerintah terus bersikap lunak terhadap kelompok OPM bersenjata ini. Bahkan BNPT yang getol memerangi ‘terorisme’ dan ‘radikalisme’ Islam juga tidak memasukkan OPM sebagai kelompok teroris. Alasannya? HAM! Alasan yang tidak pernah ada pada operasi pemberantasan teroris yang berlatar belakang Islam.


Reshuffle Sia-sia

Tanggal 18 Oktober Presiden SBY mengumumkan Kabinet Bersatu Jilid 2. Sejumlah nama baru masuk dan sejumlah nama lama digeser. Tekanan publik yang besar akibat kinerja pemerintahan SBY yang memburuk menjadi salah satu alasan reshufflle kabinet. Sebagaimana dilaporkan UKP4, 50% kinerja menteri buruk, tidak melaksanakan instruksi Presiden.

Reshuffle ini kembali menuai kecaman. Pasalnya, terjadi ‘pembengkakan’ personil kabinet karena ada penambahan jabatan wakil menteri. Presiden SBY berkilah bahwa para wakil menteri adalah kaum teknokrat dan mereka bukanlah ‘menteri’ sehingga tidak jadi persoalan.


Korupsi yang Menggurita

SBY memberantas korupsi dengan retorika! Itulah yang terjadi setelah Presiden mencanangkan ‘jihad’ melawan korupsi. Pada 21 April 2011, Rosa Manulang ditangkap KPK. Penangkapan ini menjadi skandal korupsi yang paling besar sepanjang 2011, karena kemudian melibatkan Bendahara Partai Demokrat Nazarudin dan orang dekat Menpora Andi Malarangeng. Kasus ini masih terus bergulir karena Nazarudin terus menyebut keterlibatan sejumlah nama petinggi PD seperti Angelina Sondakh hingga Ketum PD Anas Urbaningrum. Uang itu konon digunakan dalam proses pemenangan Anas pada pemilihan ketua PD.

Skandal korupsi yang melibatkan pejabat penting tidak berhenti. Pada 25 Agustus 2011, dua orang pejabat dan staf Kemenakertrans dicokok KPK karena tertangkap basah menerima suap Rp 1,5 miliar. Uang itu diduga digunakan sebagai pelicin pencairan dana program Pembangunan Infrastruktur Daerah Bidang Transmigrasi kementerian senilai Rp 500 miliar, Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan 2011. Penerima suap sendiri merupakan orang kepercayaan Menakertrans Muhaimin Iskandar.

Ironinya, meski korupsi tetap menggurita, 50 anggota DPR pada tanggal 9 Desember ramai-ramai menolak usulan moratorium remisi, atau pengetatan syarat pengurangan hukuman bagi terpidana korupsi dengan alasan moratorium tidak jelas landasan hukumnya.


Agenda Deradikalisasi

Pada 11 Oktober RUU intelijen disahkan menjadi UU oleh DPR. UU Intelijen yang zalim ini memberikan keleluasaan yang lebih luas dan dalam bagi aparat keamanan untuk memberangus siapa saja yang diduga terkait dengan terorisme, seperti melakukan penyadapan.

Untuk menghantam apa yang dinamakan ‘radikalisme’ agama (baca: Islam), BNPT mempopulerkan 4 pilar bangsa yang dikatakan sebagai harta mati—UUD 45, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI—untuk mengklasifikasikan siapa saja yang termasuk kelompok radikal yang mengancam Pemerintah. Dalam praktiknya pengertian kelompok radikal mencakup kalangan pro syariah dan Khilafah.

Dalam langkah selanjutnya BNPT melakukan taktik adu-domba antara kalangan Islam tradisionalis dengan kelompok Wahabi. BNPT merangkul kalangan Islam tradisionalis dan memberikan berbagai fasilitas kepada mereka, termasuk akses ke media massa.

Sejalan dengan program ini, Presiden SBY pada CEO Summit di KTT APEC 2011 yang digelar di Sheraton Waikiki, Honolulu, Hawaii, AS, Sabtu (12/11) menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus mempertahankan Islam moderat.


Pilkada (Dominan) Rusuh

Tahun 2011 juga diisi dengan kerusuhan yang terjadi pada sejumlah Pilkada. Salah satu kerusuhan yang terparah adalah Pilkada di Kabupaten Puncak Papua yang menewaskan lebih dari 23 orang sepanjang Juli-Agustus lalu. Kerusuhan Pilkada juga terjadi di Kabupaten Lany Papua pada September, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) Propinsi Riau.


Agenda Jahat Kebebasan Beragama

Kasus kebebasan beragama memanas di Tanah Air, di antaranya karena dua kasus: penyerangan jemaah Ahmadiyah di Serang Banten dan pelarangan pendirian gereja di Yasmin Bogor. Dua kejadian ini memojokkan umat Islam yang dianggap kurang toleran terhadap perbedaan keyakinan antarumat beragama, termasuk aliran-aliran dalam Islam.

Kejinya, kaum liberal dan gereja ‘menjual’ berbagai isu seperti ini, termasuk penyerangan terhadap warga Ahmadiyah dan Gereja Yasmin, untuk menekan Pemerintah agar membuka kran kebebasan beragama seluas-luasnya.

Padahal hukum positif yang berlaku di Tanah Air sebenarnya memenangkan umat Islam. Pada kasus Ahmadiyah, BAKORPAKEM telah menyatakan kelompok ini terbukti telah menodai agama dan melanggar klausul perjanjian yang mereka buat dengan pemerintah. Dalam kasus Gereja Yasmin di Bogor, Pemkot juga telah mendapatkan bukti manipulasi izin pendirian bangunan.

Yang menyedihkan, ada elemen umat Islam yang justru senang menikam tubuhnya sendiri dengan berdiri di barisan pendukung kebebasan beragama. Dengan dalih demokrasi dan HAM, mereka melupakan ancaman terhadap akidah umat Islam.


Beberapa Rekomendasi

Pertama: Mempertahankan keutuhan wilayah kaum Muslim adalah fardlu kifayah. Papua telah menjadi bagian dari wilayah umat Islam sejak abad ke-13 M. Haram hukumnya memberikan opsi referendum kepada kaum separatis.

Akan tetapi, menyerahkan penanganan separatisme kepada Pemerintah sekarang dan aparat keamanan adalah percuma. Mereka bersikap ambigu. Padahal tindak terorisme oleh kelompok bersenjata OPM telah tampak jelas. Aksi penembakan dan pembunuhan terhadap warga sipil dan aparat terus terjadi, tetapi aparat keamanan kehilangan nyali memberantas mereka.

Persoalan kesejahteraan ekonomi dan keadilan hukum serta ekonomi bagi rakyat Papua—Muslim atau bukan—juga wajib diwujudkan. Caranya adalah dengan mengambil alih pertambangan emas yang selama ini dijarah PT Freeport McMoran, mengembalikannya menjadi milik publik yang dikelola secara transparan oleh negara. Merekalah yang telah memperkosa, merampok kekayaan tanah Papua dan dengan sengaja membiarkan rakyat Papua dalam keadaan bodoh.

Kedua: Tidak ada yang bisa diharapkan dari reshuffle ‘setengah hati’. Perombakan kabinet ini tidak lepas dari transaksi politik atau politik dagang sapi parpol-parpol peserta koalisi.

Selain pejabat Pemerintah haruslah memenuhi kriteria fit & proper test, sistemnya terlebih dulu harus masuk kategori fit & proper test. Pasalnya, biang penyebabnya adalah demokrasi dan Kapitalisme yang sudah menyesengasarakan rakyat dan melahirkan pemerintahan yang korup.

Ketiga: Ringannya sanksi yang diberikan pada para koruptor, juga adanya remisi hukuman, membuat pelaku korupsi tidak pernah jera. Perlu hukum yang tegas dan tidak berpihak pada siapapun. Hukum yang saat ini berlaku sangat tidak efektif. Selain itu, parpol-parpol besar masih terus membela kader-kadernya yang tertangkap basah melakukan korupsi.

Lagi-lagi, demokrasi adalah pangkal dari korupsi yang makin menggila. Pemilu nasional maupun lokal yang menyedot banyak dana membuat banyak politisi dan parpol mengambil shortcut untuk mengumpulkan lagi ‘modal’ yang sudah mereka keluarkan. Maka dari itu, sudah seharusnya demokrasi dihapus!

Keempat: Agenda deradikalisasi adalah kedok dari program deislamisasi. BNPT adalah pion yang dipakai Barat untuk memerangi perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah dalam agenda ‘globar war on terror’.

Seluruh elemen kaum Muslim sepatutnya menyadari taktik belah bambu yang digunakan Barat untuk menghentikan perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah, baik itu dengan menghadapkan vis a vis kalangan wahabi dengan tradisional, atau radikal dengan moderat.

Kelima: Selain melahirkan money politics, demokrasi juga telah menimbulkan ketegangan dan kerusuhan sosial. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena sarat intrik kecurangan.

Hanya dalam sistem politik Islam keharmonisan masyarakat akan jauh lebih terjaga. Khalifah yang akan menunjuk kepala daerah. Kepemimpinan pun ditegakkan bukan untuk mengakomodasi kepentingan parpol atau investor politik, tetapi mengurus umat dengan hukum syariah.

Keenam: Umat jangan tertipu dengan serangan yang memojokkan Islam dan kaum Muslim. Toleransi antarumat beragama memiliki batasan yang jelas. Demikian pula umat Islam haram hukumnya mengakui penyimpangan akidah yang dilakukan sejumlah kelompok. Justru umat harus menyampaikan penyimpangan tersebut dan mengajak pemeluknya kembali ke dalam Islam.

WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Iwan Januar]