Rabu, Juli 20, 2011

Kebuntuan Budi Pekerti, Seberapa Saktikah Pancasila Kita?

Sepotong contoh kecil kehancuran yang diarsiteki kaum berilmu namun (“dianggap”) tidak beragama adalah bencana kebangkrutan Negara Indonesia. Puluhan bahkan ratusan tikus berdasi telah menggerogoti pilar ekonomi Negara kita yang ending-nya adalah selalu kesengsaraan rakyat. Mencuatnya popularitas Gayus hingga Malinda Dee semakin membuat banyak kalangan pendidik berpikir serius tentang pendidikan karakter. Banyak yang berhipotesa bahwa setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi mulai tahun 2007 kini telah mencapai masa puncak dari krisis karakter pula. Bentuk konkret dari krisis karakter ini terlihat dari kerusakan akibat korupsi, kerusakan ekonomi, konflik horizontal, karakter yang anarki dan cenderung menyenangi kekerasan dan kemunafikan, serta hilangnya kebanggaan menjadi bangsa Indonesia. Pentingnya pendidikan karakter mulai banyak digaungkan di berbagai seminar dan lokakarya. Meski banyak yang masih bingung karakter seperti apa yang ingin dibentuk. Sensitifitas terhadap isu SARA mengharamkan pengkhususan suatu karakter menurut agama tertentu. Bisa jadi karakter si Unyil yang ingin ditanamkan kepada generasi bangsa ini. Singkatnya berkarakter baik hati, suka menolong, rajin bekerja, tenggang rasa, bekerja keras dan sebagainya.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah kemana perginya karakter si Unyil itu dari bangsa kita selama ini? Apakah kemajuan teknologi yang sedang melanda negeri ini dibarengi semaraknya era perdagangan bebas telah membuat beberapa generasi bangsa ini kehilangan karakter? Padahal pendidikan karakter menurut Daryono, dkk. (2008)[1], senantiasa ada pada zamannya. Namanya berganti-ganti, mulai dari Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan pada zaman Orde Lama. Pada masa Orde Baru menjadi PMP(Pendidikan Moral Pancasila) serta PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) kemudian pada masa reformasi berubah menjadi PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) hingga sampai saat ini. Berbeda nama memang, namun muatan dan orientasinya adalah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dengan pendekatan pembelajaran yang didominasi oleh pendekatan indoktrinatif dengan modus transmisi nilai kecuali pada era reformasi, dimana Pancasila tidak dicantumkan lagi. Anehnya mulai 2010, tiba-tiba para pendidik berbondong-bondong mengikuti aneka seminar mengenai pendidikan karakter dan lagi-lagi Pancasila didaulat sebagai obat mujarab sakitnya karakter bangsa ini .

Memang, hal krusial yang harus diingat adalah mulai tahun 2004 dengan konsep KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) , rekonstruksi materi PKKn lebih banyak menekankan pada paham kebangsaan sedangkan untuk materi penanaman nilai dan moral nampaknya dikesampingkan. Penanaman nilai dan moral semakin minim ketika PPKn berubah menjadi PKn dimana kontruksi materinya lebih menekankan pada materi mengenai Hukum Tata Negara. Mungkin itulah salah satu penyebab anak-anak Indonesia, pemuda-pemudi Indonesia bahkan para pemimpin bangsa Indonesia mengalami krisis kepribadiaan. Hal yang lebih memparah keadaan adalah meskipun bangsa ini adalah bangsa berkeTuhanan, namun klaim sebagai bangsa yang majemuk, bangsa persatuan, maka negara Indonesia secara de facto adalah negara berpaham sekuler, yaitu memisahkan kehidupan sehari-sehari, kehidupan berbangsa, kehidupan dunia dengan kehidupan agama. Itulah wajar bila seorang pemuka agama yang telah terseret praktik politik praktis meletakkan Tuhan hanya di rumah ibadah bukan di kantor pengurus, bukan di kursi parlemen, bukan pula di hati mereka. Tuhan hanya dibutuhkan ketika mereka ingin menyalurkan gharizah taddayun[2]. Tuhan hanya ditempatkan pada ritual agama.

Ketika tak sedikit ahli pendidikan saling merumuskan tentang makna pendidikkan karakter. Namun tak ada yang berusaha mencari tahu apa yang menyebabkan gagalnya pendidikan karakter yang sudah ada mulai jaman Orba tersebut? Banyak yang menuduh bahwa kemajuan teknologi yang berimbas pada kemajuan teknologI informasi bertanggung jawab pada buruknya karakter anak bangsa ini. Ini jelas lebih aneh, Einstein saja sebagai cikal bakal kemajuan teknologi tidak mengalami kemunduran karakter. Lagi-lagi ada perdebatan sengit, apa mungkin Plato dan Aritoteles karakternya lebih bagus dari pada Einstein karena mereka jauh tidak mengenal teknologi?

Pada dasarnya pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang cemerlang. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut. Namun lihatlah fakta di lapangan. Para siswa di sekolah masih ditanamkan berlomba-lomba mengumpulkan nilai bagus sebagai penghias rapot mereka. Praktik harus lulus 100% dengan cara apapun sampai sekarang masih terus dilestarikan bahkan di 2011 ini. suasananya tidak akan berbeda dengan masa sebelumnya, bermain trik dan kiat sampai tipu muslihat mengelabui pengawas Ujian Nasional lewat cara klenik. Menggelikan!

Fakta lain yang perlu kita renungkan, praktisi perfilman Korea, Shin Mi-shun, yang terlibat program pendidikan antikorupsi di sekolah-sekolah Korea Selatan menemukan data mengejutkan. Sebagian besar korupsi bukan dilakukan para politisi atau pelaku bisnis, tapi justru melibatkan siswa dan guru. Menurut Mi-shun, sekolah saat ini banyak mengalami dekadensi, karena membiarkan munculnya bentuk-bentuk tingkah laku koruptif. Itu terjadi karena sekolah sering menganggap abnormalitas, seperti perilaku mencontek, sebagai hal umum, sepele, dan tidak serius. Walau tidak membenarkan perilaku ini, tapi banyak sekolah sering tidak tegas memberi sanksi bagi tindakan cikal sifat koruptif ini. Mungkin ini pula yang terjadi di sekolah-sekolah Indonesia. Melarang siswa mencontek, namun tak ada sanksi tegas bagi pelakunya. Efek jeranya hanya seperti gatalnya penyakit panu yang cukup digaruk jika gatal namun tidak diobati hingga tuntas.

Sayangnya, tak banyak orang menyadari bahwa kebiasaan mencontek dan ragam pelanggaran lain di sekolah, merupakan kunci terjadinya kelainan psikologis yang serius, yaitu gangguan kepribadian antisosial. Menurut Foelsch dan Kernberg (1998)[3], gangguan kepribadian antisosial merupakan bentuk terparah karakter narsistis patologis. Orang yang suka mencontek, adalah individu pengidap kepribadian antisosial yang termasuk tipe pasif parasitik. Tanda-tanda kepribadian menyimpang ini sudah timbul sejak usia belia. Gangguan perilakunya tampak dalam wujud mencontek, berbohong, dan mengeksploitasi orang lain. Apabila hal-hal itu tumbuh dan berkembang sejak usia dini dalam lingkungan sosial, benih kepribadian antisosial akan diserap dan ditoleransi. Hal yang tidak wajar juga akan dianggap wajar. Dinamika psikologis seperti itu memberi penjelasan atas penelitian Nonis dan Swift (1998)[4] dan Harding, Passow, dan Finelli (2004)[5] yang menyebutkan, pelajar yang melakukan ketidakjujuran akademik cenderung akan melakukan ketidakjujuran di lingkungan kerja salah satunya adalah korupsi. Penyakit paling kronis di negara kita yang berideologi Pancasila!

Pancasila kini menjadi primadona kembali setelah bangsa ini sadar bahwa telah terjadi kerusakan diberbagi sendi kehidupan mereka. Kini ramai-ramai para pemimpin bangsa ini menggaungkan back to Pancasila. Pancasila dianggap sebagai kartu Joker penyembuh karut-marut bangsa ini. Dengan diajarkan kembali Pancasila di setiap jenjang pendidikan, maka bibit-bibit Gayus dan Malinda Dee dapat ditekan sekaligus dienyahkan dengan kesaktian Pancasila. Bahkan geger kasus merebaknya isu Negara Islam Indonesia (NII) KW 9, diklaim sebagai akibat ditinggalkannya ideologi Pancasila. Sungguh menggelikan! Ketika solusi penerapan syariah secara khafah disodorkan berbagai argumen diberikan untuk menolak, bahkan oleh tokoh bangsa berKTP Islam. Al-Qur’an sebagai manual book dari Allah untuk panduan hidup manusia yang 100% asli buatan Allah dianggap kalah sakti dengan Pancasila. Maklumlah propaganda rezim Orba sedemikian melekat pada benak berbagai generasi bahwa Komunis di Indonesia kalahnya hanya oleh kesaktian Pancasila. Padahal Pancasila dirumuskan oleh Soekarno yang ditumbangkan oleh rezim Orde baru dengan stempel di keningnya sebagai “KOMUNIS”. Aneh bukan? Timbul banyak pertayaan, Soekarno itu bapak Pancasila atau bapak Komunis?

Selama ini, Pancasila diyakini sebagai made in Indonesia asli, produk pemikiran yang digali dari rahim bumi pertiwi. Kemudian, berhasil dirumuskan sebagai ideologi dan falsafah bangsa oleh Bung Karno, hingga menjadi rumusan seperti yang kita kenal sekarang. Sebagai peletak dasar negara Pancasila, Bung Karno mengaku, dalam merumuskan ideologi kebangsaannya, banyak terpengaruh pemikiran dari luar. Di depan sidang BPUPKI, Bung Karno mendeskripsikan pengakuannya bahwa pada waktu dia berumur 16 tahun, dipengaruhi oleh seorang sosialis bernama A. Baars, yang memberi pelajaran ”jangan berpaham kebangsaan, tapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia”. Tetapi pada tahun 1918, orang lain yang memperingatkannya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan A. Baars itu. Sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan di hatinya oleh pengaruh buku tersebut. ”Pengakuan jujur Bung Karno ini membuktikan, sebenarnya Pancasila bukanlah produk domistik yang orisinal, melainkan intervensi ideologi transnasional yang dikemas dalam format domestik. Sebagai derivasi gerakan zionisme internasional, freemasonry memiliki doktrin Khams Qanun yang diilhami Kitab Talmud. Yaitu, monoteisme (ketuhanan yang maha esa), nasionalisme (berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Yahudi), humanisme (kemanusiaan yang adil dan beradab bagi Yahudi), demokrasi (dengan cahaya talmud suara terbanyak adalah suara tuhan), dan sosialisme (keadilan sosial bagi setiap orang Yahudi). (Syer Talmud Qaballa XI:45). Melestarikan Pancasila berarti melestarikan doktrin Yahudi, yang bertentangan dengan konstitusi negara. Dan tidak konsisten dengan semangat kemerdekaan. Muqadimah UUD 1945, menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

Ideologi Pancasila semakin gencar dikampanyekan sebagai pemersatu bangsa, menjadi landasan karakter bangsa yang agung, dasar berpolitik yang santun dan mensejahterakan semua elemen bangsa melalu ekonomi Pancasila. Padahal, istilah ideologi tidaklah digunakan oleh founding fathers saat mereka menyepakati "lima dasar" dalam Pembukaan UUD 1945 dulu. Mari kita simak fakta-fakta di bawah ini:

  1. Para gentlemen di BPUPKI dan PPKI itu tidak pernah mengambil suatu keputusan mengenai nama untuk lima butir yang mereka sepakati sebagai dasar negara dalam Pembukaan UUD 1945.

2. Mereka menyepakati dan menyatakan secara eksplisit bahwa lima dasar itu (untuk mudahnya ditulis di sini Pancasila) adalah nilai-nilai yang mendasari prinsip kedaulatan rakyat yang dianut negara Indonesia ("suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan…"). Sedang dasar negara Republik Indonesia itu sendiri dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yaitu "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Meski semula dimaksudkan sebagai dasar negara, ternyata kesepakatan tertulis founding fathers mengenai kedudukan Pancasila dalam negara Indonesia berbunyi demikian. Dalam konteks historisnya, pengertian literal itu memang kurang tepat. BPUPKI dan PPKI memaksudkannya memang sebagai dasar negara, dan inilah pula yang dipahami secara luas hingga kini, termasuk oleh MPR dalam Ketetapan No. XVIII/MPR/1998.

3. Ketiga, lima butir dasar negara itu (Pancasila) tidak pernah mereka sepakati sebagai ideologi. Mereka tidak pernah bersepakat untuk membuang ideologi perjuangan masing-masing dengan menempatkan Pancasila sebagai "ideologi" baru yang menggantikan ideologi mereka. Soekarno sendiri dalam pidatonya di BPUPKI 1 Juni 1945 tidak pernah menyebut Pancasila sebagai ideologi. Bagi Soekarno, dasar negara (Pancasila) itu philosofische grondslag, yaitu pundamen, filsafat (weltanschauung), pikiran, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka. Hingga tahun 1954, meski sila diartikannya sebagai asas dan dasar, Bung Karno tetap melarang partai politik berasaskan Pancasila. Bahkan dimintanya PNI tetap berasaskan marhaenisme.

Gejala ideologisasi Pancasila, yang muncul kemudian, dibangun di atas kekecewaan terhadap sistem demokrasi liberal yang dianut UUD 1950. Soekarno, dengan menghidupkan kembali paham mudanya tentang tiga ideologi besar dunia (nasionalisme, Islam, dan Marxisme), akhirnya membuat tafsiran baru pada Pancasila, tafsir yang bergeser dari "tafsir formalnya" dalam BPUPKI, yaitu Nasakom dan segala aksesoris ideologisnya. Selain itu, Pancasila juga dijadikan asas partai politik, di samping asas ciri (yang merupakan asas yang asli).

Ideologisasi Pancasila oleh Presiden Soekarno ternyata berujung pada totalitarianisme, yang anti demokrasi dan penghormatan hukum serta hak asasi manusia. Beberapa partai dan ormas dibubarkan atau terpaksa membubarkan diri. Puluhan founding fathers, termasuk yang pernah menjadi lawan polemiknya tahun 1930-an mengenai isi Indonesia merdeka, dijebloskan ke dalam penjara, tanpa proses hukum dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Jika demokrasi liberal menghasilkan perpecahan nasional dan free fight democracy yang menyebabkan usaha-usaha pembangunan terlantar (Hatta, 1960), ideologisasi Pancasila oleh Bung Karno di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) telah mengantarkan Indonesia menjadi negara yang gagal, termasuk dalam bidang ekonomi.

Orde Baru Soeharto, yang menjanjikan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen, ternyata terjebak pada kesalahan yang sama: melakukan ideologisasi Pancasila, yang lebih absurd daripada yang dilakukan Soekarno. Soeharto memperkenalkan Pancasila baru bernama P4, dan mengajarkan Pancasila sebagai sumber moral (yang ditolak oleh komunitas Islam dan Kristen). Bahkan Soeharto memperkenalkan Pancasila Hanacaraka, yang bersumber ada ajaran nenek moyang sebelum agama-agama datang ke Indonesia.

Salah kaprah memilih ideologi Pancasila sebagai ideologi wajib Bangsa Indonesia semakin memprihatinkan. Para tokoh-tokoh bangsa dan pemuka agama Islam yang akrab dipanggil Kyai pun seperti bersatu padu ngotot meletakkan Pancasila di atas Syariah Islam. Menanggapi derasnya kesadaran umat Islam akan pentingnya penerapan syariah Islam serta gaung kerinduan tegaknya kembali khilafah, pilihan mengkompromikan Pancasila dengan khilafah dipilih sebagai jalan abu-abu. Simak saja Ketua Umum PP (Pengurus Pusat) Muhammadiyah Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, MA menegaskan bahwa ide untuk mewujudkan khilafah tetap dalam kerangka negara bangsa, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Padahal secara historis Pancasila dan Khilafah jelas tak nyambung bahkan bisa konslet jika dipaksakan. Dosa-dosa besar pemaksaan ideologi Pancasila dari rezim-rezim di Indonesia jelas bertolak belakang dengan agungnya peradaban selama khilafah menaungi muka bumi ini.

Ketakutan atas perpecahan bangsa karena multi etnis dan kepercayaan jika khilafah ditegakkan juga sangat mudah dijawab. Tak ada pemaksaan dalam sistem khilafah. Sistem pemerintahan Islam tegak dengan tetap memberikan otonomi untuk hidup mandiri bagi yang non-Islam. Negeri Islam juga terbuka bagi siapa saja. ''Sistem khilafah tak murni keagamaan, tapi sangat membumi atau bersifat keduniaan. Inilah yang menjadi alasan kenapa sistem ini dapat diterima di semua kalangan, bahkan non-Muslim sekalipun. Terbukti Rasullah menegakkan khilafah di Madinah, hidup berdampingan dengan tentram kaum kafir Qurays, Yahudi, Nasrani dan yang lainnya. Bahkan sejarah pun mencatat Khalifah Sulaiman Al Qanuni pernah membantu Prancis membebaskan raja mereka Francis I di dalam peperangan Pavia pada tahun 1525. Daulah khilafah menggunakan pengaruhnya di tingkat Internasonal dan mengerahkan kekuatan tentaranya untuk menyelamatkan Raja Francis I tanpa meminta imbalan. Perjanjian Constantinople yang ditandatangani pada tahun 1536 antara khalifah Sulaiman dan Raja Perancis telah memberi Perancis konsesi di daulah Islam. Dunia Internasional telah mencatat gemilang kiprah daulah Islam, seharusnya tak perlu ketakutan tehadap sistem kekhilafahan, ideologi Islam dan penerapan syariah. Jika mau jeli, sejauh apa Pancasila telah berprestasi dibanding ideologi Islam? Sakti mana ideologi yang diusung Rasullah made in asli dari Allah dengan ideologi mix and match Soekarno? Tak perlu ber-IQ super jenius menjawabnya. Karena fitrah kita sendiri pun telah dapat menjawabnya.

Malang, 16 Juli 2011

Gatot Mulyono


[1] Daryono, dkk. 2008 .Latar Belakang Historis MAPEL PKKn dalam Pengantar PPKn. Rineka Cipta. Jakarta

[2] Naluri untuk mengagungkan sesuatu yang lebih hebat atau yang dianggap memiliki kelebihan, naluri untuk menyembah sesuatu yang lebih hebat dari dirinya.

[3] Foelsch, P.A.,&Kernberg, O.F. 1998. Transference-Focused Psychotherapy for Borderline Personality Disorders. Psychotherapy in Practice, 4(2), 67-90.

[4] Nonis, Sarath A. and Cathy Owens Swift. “Deterring Cheating Behavior in the Marketing Classroom: An Analysis of the Effects of Demographics, Attitudes and In-class Deterrent Strategies,” Journal of Marketing Education, 20 (3), 188-199. 1998.

[5] Harding, T. S., Carpenter, D. D., Finelli, C. J., & Passow, H. J. (2004). Does academic dishonesty relate to unethical behavior in professional practice? An exploratory study. Science and Engineering Ethics, 10, 311–324.