Di Tepi Kesetiaan
by Yusuf Maulana
aku telah menjauhinya
ketika ‘Umar masih hidup
bagaimana mungkin aku
berdekat-dekat dengannya
ketika ‘Umar telah tiada?
-Fathimah binti ‘Abdul Malik-
Fathimah mengenang ketika suaminya, ’Umar ibn ’Abdul ’Aziz mulai memegang amanah kekhalifahan. ”Mungkin ada orang lain yang lebih banyak shalat dan ibadahnya daripada ’Umar”, kata Fathimah. ”Tapi aku belum pernah menyaksikan orang yang lebih takut kepada Allah daripadanya.” Pengangkatannya menjadi Amirul Mu’minin memang menjadi sebuah jungkir balik hidup yang dahsyat bagi ’Umar. Seorang sahabatnya menyaksikan ketika di hari-hari ia memangku jabatannya ’Umar memegang sehelai kain seharga 3 dirham dan berkomentar, ”Ini terlalu halus untukku!”
Sang sahabat tersenyum. Tapi tak terasa, air matanya meleleh deras.
”Mengapa kau tersenyum?”, tanya ’Umar.
Sahabatnya itu menerawang ke arah lain sambil menghela nafas. “Aku ingat saat kau masih seorang pemuda di Madinah“, katanya. “Kau menganggap ringan terlambat shalat berjama’ah karena masih sibuk menyisir rambut. Dan kau..“ Sahabatnya itu tersenyum lagi, sambil geleng-geleng kepala seolah geli. “Kau pernah mengatakan saat itu bahwa kain seharga 3.000 dirham terasa sangat kasar. Lihat dirimu sekarang! Kau katakan kain seharga 3 dirham sebagai terlalu halus.“
’Umar ikut tersenyum. Matanya kaca.
Fathimah pun mengenang ketika sekali waktu ’Umar duduk di sampingnya kemudian berbisik lembut kepadanya. “Engkau pasti tahu dari mana ayahmu memberimu permata yang kau pakai ini. Oleh sebab itu apakah engkau keberatan bila permata ini kita taruh dalam sebuah kotak lalu kita masukkan ke Baitul Maal?“
Fathimah terhenyak. Ia menatap lelaki yang amat dicintainya itu. Dirabanya permata yang menggantung di lehernya itu. Permata itulah satu-satunya perhiasannya yang masih tinggal. Ia sangat menyayanginya. Permata yang penuh kenangan. Permata itu hadiah ayahnya –sekaligus paman ’Umar-, Khalifah ’Abdul Malik ibn Marwan di hari pernikahan mereka.
“Terlebih dahulu“, kata ’Umar, “Aku akan membelanjakan simpanan Baitul Mal yang lain, dan kalau sudah habis barulah akan kugunakan permata itu untuk kepentingan kaum muslimin.“
Fathimah akhirnya tersenyum. Dibukanya pengait kalungnya. Diserahkannya permata itu ke genggaman suaminya. Dan ’Umar, dengan tubuhnya yang kini kurus memeluknya tanpa kata. Mesra. Dan lama.. Fathimah tahu artinya. Seolah-olah ia mendengar suara lembut ’Umar, ”Terimakasih atas kesetiaanmu padaku di jalan yang mendaki lagi sulit ini. Semoga Allah mempersatukan kita dalam kehidupan yang lebih indah di sisiNya.”
Kelak, ketika ’Umar wafat dan adik Fathimah yang bernama Yazid ibn ’Abdul Malik menggantikannya sebagai Khalifah, ujian kesetiaan itu datang. Yazid yang tahu perhiasan kesayangan kakaknya membawa kembali permata itu. Dengan penuh sayang diletakkannya permata itu di genggaman tangan kakaknya. Fathimah menggeleng sambil tersenyum. ”Aku telah menjauhinya ketika ‘Umar masih hidup. Bagaimana mungkin aku berdekat-dekat dengannya ketika ‘Umar telah tiada?” Begitu katanya.
Source: Buku baru Salim A. Fillah : Jalan Cinta Para Pejuang/Disiplin/ Di Tepi Kesetiaan.. by Pro-U Media 2008
Sang sahabat tersenyum. Tapi tak terasa, air matanya meleleh deras.
”Mengapa kau tersenyum?”, tanya ’Umar.
Sahabatnya itu menerawang ke arah lain sambil menghela nafas. “Aku ingat saat kau masih seorang pemuda di Madinah“, katanya. “Kau menganggap ringan terlambat shalat berjama’ah karena masih sibuk menyisir rambut. Dan kau..“ Sahabatnya itu tersenyum lagi, sambil geleng-geleng kepala seolah geli. “Kau pernah mengatakan saat itu bahwa kain seharga 3.000 dirham terasa sangat kasar. Lihat dirimu sekarang! Kau katakan kain seharga 3 dirham sebagai terlalu halus.“
’Umar ikut tersenyum. Matanya kaca.
Fathimah pun mengenang ketika sekali waktu ’Umar duduk di sampingnya kemudian berbisik lembut kepadanya. “Engkau pasti tahu dari mana ayahmu memberimu permata yang kau pakai ini. Oleh sebab itu apakah engkau keberatan bila permata ini kita taruh dalam sebuah kotak lalu kita masukkan ke Baitul Maal?“
Fathimah terhenyak. Ia menatap lelaki yang amat dicintainya itu. Dirabanya permata yang menggantung di lehernya itu. Permata itulah satu-satunya perhiasannya yang masih tinggal. Ia sangat menyayanginya. Permata yang penuh kenangan. Permata itu hadiah ayahnya –sekaligus paman ’Umar-, Khalifah ’Abdul Malik ibn Marwan di hari pernikahan mereka.
“Terlebih dahulu“, kata ’Umar, “Aku akan membelanjakan simpanan Baitul Mal yang lain, dan kalau sudah habis barulah akan kugunakan permata itu untuk kepentingan kaum muslimin.“
Fathimah akhirnya tersenyum. Dibukanya pengait kalungnya. Diserahkannya permata itu ke genggaman suaminya. Dan ’Umar, dengan tubuhnya yang kini kurus memeluknya tanpa kata. Mesra. Dan lama.. Fathimah tahu artinya. Seolah-olah ia mendengar suara lembut ’Umar, ”Terimakasih atas kesetiaanmu padaku di jalan yang mendaki lagi sulit ini. Semoga Allah mempersatukan kita dalam kehidupan yang lebih indah di sisiNya.”
Kelak, ketika ’Umar wafat dan adik Fathimah yang bernama Yazid ibn ’Abdul Malik menggantikannya sebagai Khalifah, ujian kesetiaan itu datang. Yazid yang tahu perhiasan kesayangan kakaknya membawa kembali permata itu. Dengan penuh sayang diletakkannya permata itu di genggaman tangan kakaknya. Fathimah menggeleng sambil tersenyum. ”Aku telah menjauhinya ketika ‘Umar masih hidup. Bagaimana mungkin aku berdekat-dekat dengannya ketika ‘Umar telah tiada?” Begitu katanya.
Source: Buku baru Salim A. Fillah : Jalan Cinta Para Pejuang/Disiplin/ Di Tepi Kesetiaan.. by Pro-U Media 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar