Selasa, Desember 23, 2008

Tentang Ibu


Pada sebuah meeting kick off dengan client di sebuah gedung pemerintahan di daerah Jl. Gatot Subroto, Jakarta, saya manyaksikan bagaimana karakter dari seorang ibu yang sungguh juh berbeda dengan ibu, yang selama ini saya kenal.

Sebuah ruangan luas berbentuk persegi panjang dengan meja oval dan jajaran kursi empuk, serta microphone di depan setiap peserta rapat. Beberapa orang yang dilihat dari penampilan menandakan kedudukannya di dalam ruangan tersebut, tampak sibuk dengan komunikator, dan laptop mereka. Beberapa orang lagi, masih sibuk menerima telepon. Dan sebagian besar yang mendominasi ruangan tersebut, tentu saja tidak serapi mereka. Sebagian besar dari kami adalah para programer -tidak termasuk saya- yang tergabung dalam sebuah perusahaan IT yang mendapatkan tender dari sebuah badan penanaman modal pemerintahan. Dan hari ini adalah rapat besar antara swasta dan pemerintah.
Pada sebuah kursi di salah satu sudut meja oval tersebut, seorang Ibu dengan penampilan modis kebanyakan orang kantoran, sibuk mempersiapkan laptopnya. Usianya sekitar 30an akhir, wajahnya tegas, rambut sebahunya dibiarkan lepas. Dengan cepat, laptop mungilnya segera terintegrasi dengan projector yang sudah siap sejak tadi. Lalu saya teringat ibu saya, yang hingga sekarang masih saja bingung menggunakan HP Nokia seri 33nya yang sederhana.

Kembali ke ruangan rapat. Seorang laki-laki muda membuka rapat dengan formal. Beberapa orang memulai presentasinya. Bergantian. Dan beberapa kali juga interupsi datang dari Ibu tadi. Suaranya yang messo-sopran bisa jadi yang paling keras di ruangan tersebut. Ketika dia bicara, semuanya mendengarkan. Bahasanya santun dan cerdas, dia mengetahui istilah-istilah teknologi, bisnis developement, project plan dan banyak lagi. "Semuanya harus sudah final pekan ini, karena lusa saya harus kick off di ausie" komentarnya. Hmm, perempuan yang mobile.

Lalu Saya teringat ibu, yang bahkan tak tahu jalan Pulang ke kampung halamannya di daerah Bandung sana. Jangankan High Technologi, untuk mengganti gas LPGnya yang sudah habis, dia selalu meminta bantuan kakak saya untuk melepaskan selang dari kepala tabungnya.

Ibu modis tadi piawai sekali mencari celah untuk menginterupsi rekan saya, yang sedang mempresentasikan project flow dari kontrak kerja tersebut. Dia "membantai" semuanya. Rekannya yang lain tampak mengangguk puas dan mengiyakan semua interupsinya. Semua counter wordnya terasa begitu ampuh dan menyihir kami ( project developer) untuk mengangguk menuruti semua requestnya yang tidak berperikeprogrameran.

Lalu saya teringat ibu saya, yang seringkali mengakhiri debat panjangnya dengan urai air mata. Pun perdebatan itu hanya tentang perkakas kebun Bapak yang lupa dimana ditaruhnya, bukan tentang analisa investor terhadap peluang investasi di indonesia. Atau bahkan hanya tentang larangan Bapak saya agar Ibu tidak membuang air bekas rendaman cucian yang sarat deterjen ke kolam ikan lelenya. Bukan tentang aplikasi berbasis html untuk membuild sebuah portal.

Hari yang sama pada sebuah sore yang padat, di tengah kemacetan Jl. Raya Mampang menuju Buncit Raya, tepat di depan sebuah gedung Perkantoran Republika, saya memusatkan pandangan keluar jendela metromini yang berjalan lamban, seorang ibu dengan postur tubuh gemuk agak membungkuk, sebuah plastik kresek di tangan kanannya, berjalan tergopoh-tergopoh menuju ke arah metromini yang saya tumpangi. Matanya sesekali menatap ke arah mobil-mobil mewah yang melaju pelan, tatapan matanya seolah berkata "Stop,orang kaya sombong! ibu tua miskin ini mau lewat! Beri aku ruang!".

Matanya kembali nyalang ketika tepat di depan pintu metromini, seorang bocah dengan kaus belelnya sedang fokus bernyanyi dengan botol yakult berisi pasir. Tatapan nyalangnya seakan berkata "Huh, bocah sial! Selalu saja mendahuluiku!". Persaiangan jalanan. Dia kembali menyebrang, melewati mobil-mobil yang menunggu lampu segera berganti hijau. Saya masih memperhatikannya. "Hentikan klakson bodohmu itu hai orang kaya, tidak tahukah jika jatah makan malamku sudah diambil bocah tengik itu?" Matanya mengerling kembali ke arah metromini yang saya tumpangi, kali ini kami bersibobrok pandang " katakan pada bocah itu, lampu merah ini daerah kekuasaanku" pesan sorot matanya pada saya.

Lalu saya teringat ibu saya, yang setiap pekan selalu menunggu kiriman Bapak yang hanya seorang sopir taksi di Jakarta. Beruntung dia tinggal di desa, yang meskipun miskin, keanggunan desa masih bisa meredam kebutuhan kami.

Dalam satu hari saya menemukan dua karakter ibu yang jauh berbeda. Ibu saya, tidak sedikitpun mendekati karakter dan kecerdasan Ibu di ruang meeting oval tadi. Tidak juga sedikitpun seperti ibu yang tergopoh-gopoh mendatangi metromini, yang kemudian menghardik bocah pengamen saingannya. Ibu saya hanya seorang biasa yang terlalu istimewa untuk saya cari padanannya, pun dia bukan seorang yang selalu mengerti saya setiap saat. Terlepas dari semua kekurangannya sebagai seorang ibu, dia adalah seseorang yang bahkan Nabi Muhammad memuliakannya tiga kali.

Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw
dan bertanya kepada beliau,
"Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak aku pergauli?"
Beliau menjawab, "Ibumu! Ia bertanya lagi,
"Lalu siapa?" Rasul menjawab lagi, "Ibumu!"
Ia balik bertanya, "Siapa lagi?"
Rasul kembali menjawab, "Ibumu!"
Ia kembali bertanya, "Lalu siapa lagi?"
Beliau menjawab, "Bapakmu!"
(Dikeluarkan oleh Asy-Syaikhani
(Bukhari-Muslim).


Dani Ardiansyah
HP: 085694771764

1 komentar:

Nizmaanakku mengatakan...

"Setetes Air Susu Kecintaan Ibumu Tidak Akan Terbalaskan Neskipun Kau Persembahkan Untuknya Seluruh Langit & Bumi Beserta Isinya"