Mencontek, jual beli jawaban ujian sampai jual beli ijazah instan adalah potret buram pendidikan di Indonesia. Fonema ini justru kian dianggap biasa dan lumrah. Pendidikan dianggap hanyalah investasi mendapat ijazah untuk mendapatkan lapangan pekerjaaan.
Demi mendapat ijazah sekolah dengan nilai jual tinggi para orang tua berlomba-lomba memasukan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah unggulan. Dari usia pendidikan dini, anak-anak telah dijejali banyak beban pelajaran yang dianggap perlu sebagai bekal masa depan mereka. Pernahkah para orang tua tersebut menyadari apa sesungguhnnya potensi dan minat bakat anak-anak mereka? Pernahkah orang tua memberi pilihan, sekolah seperti apa yang mereka inginkan?
Tak sedikit orang tua memiliki parameter sekolah unggul dinilai dari prosentase jumlah siswa yang lulus UAN padahal tak semua peserta lulus UAN adalah “nyata” pandai dan peserta yang tidak lulus UAN adalah “nyata” tak pandai.
Demi mengejar kursi di sekolah unggulan sejak SD (Sekolah Dasar) para orang tua ramai-ramai memberi les tambahan yang sebenarnya justru memperparah kelelahan otak dan mental anak-anak mereka. Seandainya para orang tua tahu, bahwa standar jam belajar siswa SD menurut UNESCO hanya 800 jam per tahun atau rata-rata 16 – 17 jam per minggu, mungkin mereka akan merasa kasihan pada perkembangan psikologis anak-anaknya.
Montessori menyatakan bahwa setiap anak adalah unik dan berbeda dari orang dewasa. Anak kecil bukanlah orang dewasa dengan tubuh kecil, anak memiliki daya pikir, kekuatan konsentrasi dan pengarahan diri yang jelas tak sama dengan orang dewasa.
Karena itu, pengukuran kepandaian dengan angka dan tolok ukur yang sama rata juga sangat tidak relevan, karena setiap pribadi yang unik tersebut memiliki potensi kecerdasaan yang berbeda-beda. Multiple Intelligences yang dikembangkan oleh H. Gardner menyatakan bahwa setiap individu memiliki kecerdasan tertentu yang menonjol.
Berdasarkan kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap, mengelola dan menyampaikan informasi, maka cara belajar individu dapat dibagi dalam beberapa kategori yaitu spatial, auditory-musical, linguistic, kinesthetic, mathematical, interpersonal, dan intrapersonal. Masing-masing ditandai dengan ciri perilaku tertentu. Bila mendapatkan rangsangan yang sesuai, ia akan mudah menyerap pelajaran. Karena itu, sungguh tidak adil bila, dalam sebuah kelas dengan metode dan media pembelajaran yang sama, beberapa individu dikatakan “bodoh” karena tidak dapat mengikuti proses pembelajaran dan gagal pada test.
Tak sedikit guru yang mengeluh bahwa terdapat beberapa “oknum” di kelasnya yang dinilai sebagai biang onar, si pemalas, dan si apatis. Seandainya para orang dewasa menyadari bahwa kenakalan-kenakalan tersebut adalah sebuah protes atas cara belajar yang dipaksakan dan sangat tak sesuai dengan karakteristik cara belajar mereka.
Thomas Armstrong, pakar Multiple Intelligences, menyatakan ada cara sederhana mengenali kecerdasan-kecerdasan yang menonjol melalui kenakalan mereka di kelas. Jika diamati, ternyata kenakalan anak-anak itu berbeda-beda ekspresinya. Anak dengan kecerdasan linguistik biasanya sering membuat celetukan dan canda kata-kata. Anak dengan kecerdasan spasial akan mencoret-coret. Anak dengan kecerdasan interpersonal akan mengobrol dengan teman-temannya. Sedangkan anak dengan kecerdasan kinestetis tidak bisa duduk diam dan terus bermain kejar-kejaran .