Selasa, Februari 10, 2009

Nyontek, Human v Education Error

Oleh: Gatot Mulyono (Guru KKPI SMK Wisnuwardhana Malang)

Mencontek, jual beli jawaban ujian sampai jual beli ijazah instan adalah potret buram pendidikan di Indonesia. Fonema ini justru kian dianggap biasa dan lumrah. Pendidikan dianggap hanyalah investasi mendapat ijazah untuk mendapatkan lapangan pekerjaaan.  

Demi mendapat ijazah sekolah dengan nilai jual tinggi para orang tua berlomba-lomba memasukan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah unggulan. Dari usia pendidikan dini, anak-anak telah dijejali banyak beban pelajaran yang dianggap perlu sebagai bekal masa depan mereka. Pernahkah para orang tua tersebut menyadari apa sesungguhnnya potensi dan minat bakat anak-anak mereka? Pernahkah orang tua memberi pilihan, sekolah seperti apa yang mereka inginkan? 

Tak sedikit orang tua memiliki parameter sekolah unggul dinilai dari prosentase jumlah siswa yang lulus UAN padahal tak semua peserta lulus UAN adalah “nyata” pandai dan peserta yang tidak lulus UAN adalah “nyata” tak pandai.

Demi mengejar kursi di sekolah unggulan sejak SD (Sekolah Dasar) para orang tua ramai-ramai memberi les tambahan yang sebenarnya justru memperparah kelelahan otak dan mental anak-anak mereka. Seandainya para orang tua tahu, bahwa standar jam belajar siswa SD menurut UNESCO hanya 800 jam per tahun atau rata-rata 16 – 17 jam per minggu, mungkin mereka akan merasa kasihan pada perkembangan psikologis anak-anaknya.

Montessori menyatakan bahwa setiap anak adalah unik dan berbeda dari orang dewasa. Anak kecil bukanlah orang dewasa dengan tubuh kecil, anak memiliki daya pikir, kekuatan konsentrasi dan pengarahan diri yang jelas tak sama dengan orang dewasa.

Karena itu, pengukuran kepandaian dengan angka dan tolok ukur yang sama rata juga sangat tidak relevan, karena setiap pribadi yang unik tersebut memiliki potensi kecerdasaan yang berbeda-beda. Multiple Intelligences yang dikembangkan oleh H. Gardner menyatakan bahwa setiap individu memiliki kecerdasan tertentu yang menonjol.

Berdasarkan kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap, mengelola dan menyampaikan informasi, maka cara belajar individu dapat dibagi dalam beberapa kategori yaitu spatial, auditory-musical, linguistic, kinesthetic, mathematical, interpersonal, dan intrapersonal. Masing-masing ditandai dengan ciri perilaku tertentu. Bila mendapatkan rangsangan yang sesuai, ia akan mudah menyerap pelajaran. Karena itu, sungguh tidak adil bila, dalam sebuah kelas dengan metode dan media pembelajaran yang sama, beberapa individu dikatakan “bodoh” karena tidak dapat mengikuti proses pembelajaran dan gagal pada test. 

Tak sedikit guru yang mengeluh bahwa terdapat beberapa “oknum” di kelasnya yang dinilai sebagai biang onar, si pemalas, dan si apatis. Seandainya para orang dewasa menyadari bahwa kenakalan-kenakalan tersebut adalah sebuah protes atas cara belajar yang dipaksakan dan sangat tak sesuai dengan karakteristik cara belajar mereka. 

Thomas Armstrong, pakar Multiple Intelligences, menyatakan ada cara sederhana mengenali kecerdasan-kecerdasan yang menonjol melalui kenakalan mereka di kelas. Jika diamati, ternyata kenakalan anak-anak itu berbeda-beda ekspresinya. Anak dengan kecerdasan linguistik biasanya sering membuat celetukan dan canda kata-kata. Anak dengan kecerdasan spasial akan mencoret-coret. Anak dengan kecerdasan interpersonal akan mengobrol dengan teman-temannya. Sedangkan anak dengan kecerdasan kinestetis tidak bisa duduk diam dan terus bermain kejar-kejaran .

Puncak dari luka batin karena vonis nilai dan kegagalan tes yang semestinya bukan 100% kesalahan mereka membuahkan tradisi berbuat curang sebagai jalan pintas mendapat nilai memuaskan. Bagi mereka pendidikan adalah memenuhi permintaan standar nilai, kebanggaan dan penghargaan atas kemampuan mereka dinyatakan dalam nilai dengan tolak ukur yang sama, maka tak heran kecurangan-kecurangan dalam pendidikan seperti lingkaran setan yang tak ada ujungnya. Inilah sebuah renungan panjang bagi para guru dan orang tua.
Keterangan:
Dimuat Jawa Pos Radar se Jawa Timur dalam program UNTUKMU GURUKU edisi Selasa, 10 Februari 2009.


5 komentar:

Anonim mengatakan...

Weh... congratulation must gatot... hehe, gimana ya caranya nulis artikel ... aku banyak gagasan untuk diungkap, tapi ketika akan ditulis ..... muaaacet cet cet.... semua yg dah diangankan tuk ditulis... hilang dari pikiran... hehhehhe...
Moga tulisan berikutnya segera menyusul....
Peace..!!!

Anonim mengatakan...

Hebat must Gatot. Mulai sekarang boleh dunk kita konsul masalah nak-kanak yang kadang bikin mumet.
Anyway, selamat yah. Tetep semangat menulis, buktikan bahwa Gurupun Bisa..he..he...

Anonim mengatakan...

Inspiring article..from inspiring teacher..hebat must Gatot

Anonim mengatakan...

Mas Syam, Mas Mampu, Mas Asep semua kolega saya di Klub Guru yg saya banggakan.

Saya bisa juga karena sentilan Mas Syams kala itu.

Saya juga terinspirasi dedikasi kuat Mas Mampu terhadap peningkatan kualitas diri dan pendidikan.

Mas Asep pun juga begitu... buat saya ngiri dengan hobby mensinergikan IT dg pendidikan.

Percayalah.... kita akan semakin sinergi sambil berkarya di dunia masing-masing.

The point is.... karyaku adalah hasil aku bercermin dari man teman yang telah berkarya sebelumnya.

Salam inovasi,
MustGatot

Anonim mengatakan...

@ pak syams
mungkin bisa direkam dulu pak... misal sudah punya ide2 yg muncul sebelum ketemu komputer direkam aja dul, atau ditulis, jadi misal ketemu komputer tinggal nyalin aja... :)

@ pak gatot
menarik sekali artikelnya, tapi khan pilihan utk lebih condong ke bidang apa baru ada di tingkat menengah atas dg adanya SMK, SD kejuruan atau bahkan TK kejuruan khan tidak ada...
bagaimana jika si anak sudah tidak berusia 20 th lebih, masih bisakah dicari kecerdasan apa yg sebenarnya di punyai??? caranya???