| | | |
| |
Sindiran apa yang kudapat, ”Hari Moekti itu bagaikan lilin yang menyala, bermanfaat menerangi lingkungan tetapi tubuhnya terbakar”. Ramadhan 1995, aku diundang dalam acara dialog interaktif 'Buka Puasa Bersama Artis' di SMAK Analisis Kimia Bogor. Saat itu dialog dengan Adi Maretnas dengan moderator Muhammad Syamsul Arifin. Adi ini kok pinter banget, pikirku. Masih muda tapi otaknya seperti kiai saja, karena semua argumenku terbantahkan. Usai acara Syamsul ngobrol denganku. Dia mengajak aku untuk mengaji kepadanya. Aku bertanya, boleh enggak aku mengaji lagi di tempat lain. ”Boleh, ngaji itu bisa ke mana saja. ”Yang penting kita punya pemahaman,” jawab Syamsul. “Pemahaman apa?” tanyaku.”Kepemimpinan berpikir, pemimpin kita itu bukan perasaan tetapi pikiran kita yang diatur oleh syariah Islam. Jadikanlah Islam sebagai kepemimpinan berpikir” tandasnya. ”Intelek sekali, hebat banget ucapan-ucapan kayak begini,” ujarku dalam hati. Ia berbicara panjang lebar. Akhirnya aku mengerti ternyata sekitar 80 persen ajaran Islam adalah terkait politik. Artinya sebagian besar ajaran Islam itu mengatur seluruh kehidupan manusia, seperti pendidikan, ekonomi, budaya, peradilan, pemerintahan dan lainnya. Sisanya, ya terkait ibadah mahdlah dan lainnya.
Seperti Lilin Sejak itu aku dibina seorang ustadz muda secara rutin dengan berbagai dalil. Di antaranya Surat Al-Mulk ayat 2, agar Dia menguji kalian siapa di antara kalian yang amal perbuatannya paling sempurna. Aku sebagai artis banyak amalnya. Membangun masjid, sunatan massal, sedekah menyekolahkan anak-anak orang miskin tetanggaku dan menyantuni anak yatim. Sindiran apa yang kudapat, ”Hari Moekti itu bagaikan lilin yang menyala bermanfaat menerangi lingkungan tetapi tubuhnya terbakar”. Artinya, pikiranku, hartaku, tenagaku, itu bermanfaat bagi orang lain tetapi akan mencelakakanku di akhirat, karena tidak mendapat ridla Allah. Benarkah amalku selama ini tidak diridhai Allah? Aku terus mencari jawaban. Ayat Al Mulk itu ternyata menjelaskan bahwa ahsan amalan (perbuatan terbaik) itu harus dilandasi dengan niat ikhlas dan cara yang benar berdasarkan tuntunan Rasulullah. Aku lalu berpikir, apakah waktu menyumbang niatku ikhlas dan memperolehnya dengan benar? Dari situlah aku belajar memahami Surat Al-Fatihah, Alhamdulillahirabbil 'alamiin, segala puji bagi Allah Yang mengatur alam semesta. Maknanya, tidak layak dipuji, tidak layak memuji selain Allah. Sebagai artis, aku selalu ingin dipuji, selalu ingin memuja selain Allah. Sedangkan orang yang ihsan itu Mukmin yang beribadah, semata-mata hanya karena Allah. Orang ikhlas itu selalu menutupi amal shalihnya sebagaimana ia menutupi keburukannya. Seperti orang yang kentut tanpa suara tapi baunya ke mana-mana. Pasti malu bila ketahuan kentut. Agar tidak ketahuan, pura-pura tidak merasa kentut. Jadi kalau orang ikhlas itu amal shalihnya bila tercium orang lain pura-pura tidak tahu. Kalau aku, saat itu, malah senang diberitakan di radio, televisi dan koran. Harusnya seperti orang yang kentut tadi, ia berharap agar baunya cepat-cepat hilang, bersyukur kalau tidak ada orang yang mengetahui kalau ia yang kentut. Lantas apakah harta yang kuperoleh itu dari jalan yang benar? Pertanyaan itu berkecamuk dalam benakku. Ihdinashirathal mustaqiim, tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan yang lurus itu sirathal ladziina an'amta 'alaihim, jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, yakni Nabi-Nabi dan para pengikut setianya. Bukti sebagai pengikut setia itu ya tentu saja yang mengikuti Nabi Muhammad SAW. Karena, tidak beriman seseorang di antara kalian, sehingga hawa nafsunya mengikuti apa-apa yang kubawa, begitu sabda Nabi SAW. Apa yang Nabi Muhammad SAW bawa? Yaitu Alquran dan Sunnah. Yang kemudian diijtihad oleh para mujtahid dan diperkenalkanlah kepada kita sebagai syariah Islam dengan hukum yang lima itu, wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Ghairil maghdhubi 'alaihim, dan bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai. Mengapa kaumYahudi dimurkai padahal mereka adalah orang-orang yang cerdas? Ya karena kecerdasannya dipakai untuk merusak umat Islam. Jadi artis sebenarnya adalah ujung tombak Yahudi untuk menyebarkan paham setan, di antaranya adalah seks bebas dan sinkretisme agama. ”Jadi aku harus meninggalkan dunia artis ini?” tanyaku. ”Oh terserah Kang Hari, ente kan sudah paham tentang qadla dan qadar bahwa hidup itu pilihan,” ujar Syamsul.
Terus aku berdoa kepada Allah, ”Ya Allah berikan aku kekuatan untuk mampu meninggalkan apa saja yang Engkau tidak sukai dan gantikanlah aktivitas kehidupanku ke aktivitas yang Engkau ridhai”. Doa itu kupanjatkan di Padang Arafah ketika ibadah Haji awal tahun 1996. Pulang naik haji, aku berubah total. Tanpa ragu kutinggalkan dunia artis ketika kontrak sinetron dan iklan tinggal kutandatangani saja. Bahkan kontrak menyanyi yang sedang berlangsung, kubatalkan. Karena aku paham, dunia artis itu banyak keharamannya. Memang, hukum nyanyinya sih mubah tetapi aktivitas lainnya yang terkait nyanyi banyak haramnya. Aku baru naik panggung saja, para penonton sudah mabuk. Campur baur laki-laki dan perempuan. Aku nyanyi, yang nonton memujaku, jatuh syirik nantinya. Si penyanyinya itu, tidak bisa dihilangkan dari rasa ingin dipuji, ujub namanya. Itu yang aku rasakan. Dua belas tahun aku sebagai artis dipuja-puja setan. Ternyata, saat itu, aku juga setan. Astaghfirullah. Satu setengah tahun sejak dialog di SMAK itu, aku baru ngeh bahwa ustadz muda itu adalah aktivis Hizbut Tahrir. Kemudian aku diminta bergabung berdakwah, berjuang bersama untuk menyadarkan umat agar mau menegakkan kembali institusi politik Islam yakni Khilafah Islam. Aku jawab, kenapa tidak dari dulu saja Tadz![] joko prasetyo |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar