“Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah n. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah mentakdirkan Imam Syafi’i.” (Imam Ahmad bin Hambal)
Garis Nasabnya
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’i. Terlahir di Gaza, Palestina, pada tahun 150 H/ 167 M, tahun dimana Imam Abu Hanifah wafat. Beliau berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih termasuk kerabat Rasulullah n. Dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib.
Abdullah bin Abdul Hakam berkata, “Imam Syafi’i berkata kepadaku: “Aku lahir di kota Ghaza, Palestina, tahun 150 H. Kemudian aku pindah ke Makkah dan saat itu aku baru berusia 2 tahun.
Di antara Kelebihan Imam Syafi’i
Pada usia 9 tahun, beliau sudah bisa menghafal 30 juz al-Qur’an dengan lancar, dan satu tahun berikutnya, beliau sudah mampu membaca dan menghafal di luar kepala kitab Muwattha’(yang berisi 1.720 hadist pilihan), salah satu karya fenomenal Imam Malik.
Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i pernah berkata, “Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris (Imam Syafi’i)”. Hingga akhirnya Imam Syafi’i dinobatkan sebagai imam bahasa Arab.
Karena kecerdasannya maka pada usia 15 tahun Imam Syafi’i sudah mendapatkan izin dari mufti Makkah, Muslim bin Khalid Az-Zanji untuk memberi fatwa. Imam Syafi’i pernah meminjam kitab Muwattha’ pada salah seorang penduduk Makkah dan menghafalnya dalam waktu 9 malam. Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya.
Imam Syafi’i termasuk orang yang zahid. Sejak kecil ia terbiasa makan sedikit artinya tidak sampai kenyang. Dan setiap menerima hadiah yang berupa uang/harta beliau tidak pernah menyimpannya akan tetapi langsung ia bagi-bagikan kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkannya.
Perburuannya Mencari Ilmu
Makkah
Selain mufti Makkah, Muslim bin Khalid Az-zanji, guru Imam Syafi’i yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan para ulama yang lain. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para ulama fiqih.
Adapun murid-murid beliau yang ada di Makkah antara lain : Abu Bakar Al-Humaidy (meninggal tahun 219 H), Ibnu Utsman ibn Syafi’ Al-Muththalibiy (saudara misan Syafi’i), Abu Bakar Muhammad bin Idris Waraq al-Humaidiy, dan lain-lain.
Madinah
Imam Syafi’i berangkat ke Madinah dengan niat untuk menuntut ilmu. Dalam perjalanan dari Mekkah menuju Madinah beliau mengkhatamkan bacaan al-Qur’an sebanyak 16 kali. Malam hari satu kali khatam dan siangnya satu kali. Pada hari ke delapan beliau tiba di Madinah setelah shalat ashar. Beliau shalat di masjid Nabawi dan berziarah terlebih dahulu ke makam Rasulullah n. Setelah itu baru beliau menuju kediaman Imam Malik bin Anas.
Imam Syafi’i manyatakan kekagumannya terhadapa Imam Malik dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.”
Selama 9 tahun di Madinah, Imam Syafi’i berhasil merampungkan belajar fiqih Maliki sampai wafatnya sang guru, Imam Malik, pada tahun 179 H. Imam Syafi’i menguasai corak dan metodologi fiqih ala Mazhab Maliki yang notabenenya merupakan aliran Hadits.
Yaman
Selanjutnya, Imam Syafi’i hijrah ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Tersebut sederet ulama Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti, Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli, dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi serta para ulama lain.
Baghdad, Irak
Pada waktu Imam asy-Syafi’i telah menyelesaikan pelajarannya pada Imam Malik, beliau mendengar kabar tentang Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, mereka adalah murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah yang sedang berada di Iraq yaitu di kota Kufah. Beliau ingin sekali bertemu dengan mereka berdua. Maka Imam Syafi’i lantas memohon izin kepada Imam Malik untuk pergi ke Iraq.
Berkata Hasan ibn Muhammad ibn Shabah al-Za’farany, katanya: “asy-Syafi’iy datang ke sini, kota Baghdad, pada tahun 192 H, kemudian beliau tinggal bersama kami selama 2 tahun, kemudian kembali ke Makkah, kemudian kembali lagi ke Baghdad pada tahun 198 H untuk beberapa bulan, kemudian pergi ke Mesir. Murid-murid beliau yang ada di Baghdad antara lain : Abu Ali Al-Hasan ibn Muhammad ibn Shabah Al-Bazzar Al-Za’faraniy, Abu Ali Al-Husain ibn Ali Al-Kuraibisiy, Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid Al-Kalbiy, Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal, Abu Ubaid Al-Qasim ibn Sallam, dan masih banyak lagi tentunya.
Mesir
Begitu beliau sampai di negeri Mesir, segera saja penduduknya jatuh hati pada Imam asy- Syafi’i. Para ulama negeri itu juga memuliakannya dan meminta beliau untuk mengajar di masjid Amru bin Ash. Beliau mengajar sehabis subuh sampai zhuhur. Para ulama dan orang-orang jenius terpelajar lainnya datang menyimak pelajaran yang beliau sampaikan baik di masjid maupun di rumah. Di antara orang-orang yang belajar pada beliau yang kelak menjadi ulama terkenal adalah Muhammad bin Abdullah bin Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Yaqub Yusuf bin Yahya Al-Buwaiti, Rabi’ Al-Jizi dan lain sebagainya. Penduduk Mesir menyebutnya sebagai “ Khathibul Ulama “.
Ketika di Mesir ini pula Imam Syafi’i banyak menulis kitab yang berisi madzhab beliau. Di antara kitabnya adalah Al-Umm,Imla’ al-Shaghir, Jizyah, Ar-Risalah dan lain sebagainya.
Karya-karyanya
Ar-Risalah
Salah satu karya beliau adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadits, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz.
Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i, “Beliau adalah orang yang paling faqih dalam al-Quran dan as-Sunnah, tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i.” Imam Ahmad melanjutkan, “Kalaulah bukan Imam Syafi’i, kita tentu tak tahu fiqhul hadits. Pintu fiqh tertutup hingga Allah membukanya melalui Imam asy-Syafi’i.”
Titik awal tahap ini dimulai sejak kedatangan Imam asy-Syafi’i ke Mesir pada akhir-akhir tahun 199 H sampai wafatnya tahun 204 H. Meskipun dalam kurun waktu yang sebentar, yaitu tidak lebih dari 5 tahun dari sisa usianya, masa-masa ini merupakan masa-masa yang menebarkan keharuman dan keagungan Imam Syafi`i. Masa-masa yang penuh dengan inovasi dan kreasi-kreasi subur dari hasil kerja olah pikir Imam Syafii.
Pergumulannya dengan para ulama dan pemikiran-pemikiran di Mesir serta pengamatannya yang tajam terhadap kondisi sosial budaya dan kemasyarakatan yang berbeda dengan daerah Hijaz dan Iraq, membuat Imam Syafii menengok kembali pendapat-pendapat yang pernah beliau publikasikan sewaktu berada di Baghdad (qaul qadîm). Imam Syafii pun mengeluarkan revisi atas qaul qadîm-nya. Revisi ini yang kemudian lebih dikenal dengan istilah qaul jadîd.
Pemikiran-pemikiran barunya dibukukan ke berbagai kitab, di antaranya kitab al-Umm yang menjadi salah satu kitab induk dalam mazhab asy-Syafii. Inovasi-inovasi Syafi’i ini membuat beberapa ulama-ulama besar dari mazhab lain berbelok arah menjadi pengikutnya, seperti Imam al-Muzani yang sebelumnya bermazhab Hanafi dan al-Buwaithi yang pada awalnya menganut Mazhab Maliki. Dari sini kita tahu betapa keras perjuangan Imam Syafi’i dalam melakoni proses pencarian jati diri pemikirannya.
Berkat perjuangan, pengembaraan, dan kemauan yang tak kenal lelah didukung dengan kecerdasan yang tinggi, Allah menganugerahi Imam Syafi’i kemampuan untuk menjadi mujtahid. Ijtihadnya melahirkan fikih yang matang dan akomodatif, akumulasi dari fiqih Hijaz, Iraq, Yaman, dan Mesir. Inilah fiqih yang mengeksplorasi kekayaan tradisi dengan pemahaman mendalam tentang dalil-dalil syariat.
Dasar madzhabnya adalah Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, dan perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan istihsan, maka ia telah menciptakan syariat.” Atas pemikirannya itu, sampai-sampai penduduk Baghdad mengatakan, “Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah).”
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Makkah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqihnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid).
Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak ; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi, dan Imam Syafi’i.
Al-Umm
Kitab “al-Umm” sebagai madzhab fiqih yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam asy-Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya, “Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadits) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok.”
Wafat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i meninggal di Mesir pada usia 55 tahun, tepatnya hari Kamis malam Jum’at setelah mengalami sakit beberapa waktu. Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata, “Imam Syafi’i meninggal pada malam Jum’at setelah maghrib. Pada waktu itu aku berada di sampingnya. Beliau dishalatkan dengan imamnya adalah al-Sury ibn Hakam, gubernur Mesir pada saat itu. Jasadnya dimakamkan pada hari Jum’at setelah ashar, hari terakhir di bulan Rajab.
Penutup
Setelah membaca dan mengetahui sekilas biografi Imam Syafi’i, diharapkan bisa menjadi pengobat jiwa, menikmati pemikirannya yang sempurna, pancaran kepandaiannya dan berkah kata-katanya, serta dapat mengambil hikmahnya.
Padanya terdapat kesembuhan bagi mereka yang kehausan akan suri tauladan, dan padanya terdapat cahaya sebagai petunjuk jalan kebaikan. Tak lupa, mengetahui kehidupan para ulama berfungsi sebagai cermin yang akan memperlihatkan kelemahan diri yang nantinya sebagai bahan perbaikan.
Ali bin Abdurrahman bin Hudzail berkata : “Ketahuilah, bahwa membaca kisah-kisah dan sejarah-sejarah tentang orang yang memiliki keutamaan akan memberikan kesenangan dalam jiwa seseorang. Kisah-kisah tersebut akan melegakan hati, mengisi kehampaan, serta membentuk watak yang penuh semangat dilandasi kebaikan dan menghilangkan rasa malas.” ('Ainul Adab wa As-Siyasah : 158).
Maroji’
1. Ensiklopedi Islam jilid.4, DEPDIKNAS, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
2. At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, Muh. Syamsyuddin Abdul Hafidz dkk, Kuwait, 1980
3. Aneka sumber dari Internet :
a. Http ://abualbinjany.file.wordpress.com
b. Http ://belajarislam.com
c. Http ://kolom-Biografi.Blogspot.com
d. Http ://skisma2.multiply.com
e. Http ://www.indonesiaindonesia.com
f. Http ://www.scribd.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar